Zaman Paleolitikum / Batu Tua (Manusia Purba, Keudayaan Pacitan dan Ngandong, Corak Kehidupan Masyarakat Zaman Paleolitikum)
Paleolitikum berasal dari kata Palaeo artinya tua, dan Lithos yang artinya batu sehingga zaman ini disebut zaman batu tua. Zaman batu tua diperkirakan berlangsung kurang lebih 600.000 tahun silam. Kehidupan manusia masih sangat sederhana, hidup berpindah-pindah (nomaden), dan bergantung pada alam. Mereka memperoleh makanan dengan cara berburu, mengumpulkan buah-buahan, umbi-umbian, serta menangkap ikan. Cara hidup seperti ini dinamakan food gathering. Pada masa paleolitikum ini kehidupan manusia prasejarah yang mempunyai corak berburu dan meramu. Berburu adalah kegiatan manusia purba untuk memperoleh bahan makanan dengan cara memburu binatang, memasang perangkap, dan menjeratnya. Meramu adalah kegiatan untuk mendapatkan bahan makanan dengan cara mengumpulkan tumbuh-tumbuhan langsung dari alam.
A. Manusia Purba Zaman Paleolitikum
Temuan arkeologis pada zaman Paleolitikum didukung oleh temuan manusia purba sebagai berikut.
1. Meganthropus Palaeojavanicus, manusia purba ini dianggap sebagai manusia tertua yang hidup di Jawa kira-kira 2-1 juta tahun yang lalu. Rahangnya mirip kera diperkirakan terus berevolusi. Fosil manusia yang memiliki rahang besar ini ditemukan pada 1941 di Desa Sangiran, lembah Sungai Bengawan Solo oleh Von Koenigswald.
2. Pithecanthropus Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan 1936 di lembah Kali Berantas oleh Von Koenigswald.
3. Pithecanthropus Erectus ditemukan 1890 di Desa Trinil, lembah Bengawan Solo oleh E. Dubois.
4. Homo Soloensis dan Homo Wajakensis ditemukan antara 1931-1934 di Solo dan Wajak.
Dibawah ini adalah gambar dari tengkorak homo soloensis:
B. Kebudayaan Pacitan dan Ngandong / Peralatan Hidup Manusia Purba
Untuk mendukung kehidupannya, manusia purba menggunakan dan membuat beragam peralatan yang terbuat dari bahan batu, kayu, tanduk, dan tulang ikan. Artefak dan fosilnya sebagian besar
masih bisa ditemukan kecuali peralatan yang terbuat dari kayu. Hasil kebudayaannya banyak ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong Jawa Timur. Para arkeolog sepakat untuk membedakan
temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut, yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Teknik pembuatan alat masih sederhana sehingga menghasilkan alat-alat yang kasar karena tidak dihaluskan. Jenis-jenis alat zaman berburu dan meramu tingkat awal sebagai berikut.
1. Alat Keudayaan Pacitan
Alat budaya Pacitan yang berasal dari batu ada dua, yaitu tradisi batu inti yang terdiri atas kapak perimbas (chopper) dan kapak genggam (hand adze). Kapak perimbas digunakan untuk merimbas kayu, pemecah tulang, dan sebagai senjata. Kapak genggam digunakan untuk menggali, memotong, dan menguliti. Alat-alat ini ditemukan di Punung, Pacitan (Jawa Timur) dan di beberapa tempat lain.
Alat-alat budaya Pacitan juga ditemukan di Jampang Kulon (Sukabumi, Jawa Barat); Gombong (Kebumen, Jawa Tengah); Ngadirojo dan Sambungmacan (Sragen, Jawa Tengah), Tanjungkarang (Lampung); Awang Bangkal (Kalimantan Selatan); Cabbenge (Sulawesi Tenggara), Sembiran dan Trunyan (Bali); Batutring (Sumbawa), Wangka, Mengeruda, Alabula, Maumere (Flores); serta Atambua, dan Kefamenanu (Timor).
Gambar di atas merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada 1935 di Pacitan yang diberi nama kapak genggam. Alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai, cara mempergunakannya dengan cara mengenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper yang artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam. Daerah penemuan kapak perimbas atau kapak genggam selain di Pacitan Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang Sawah, Lahat, dan Kalianda Sumatra, Awang Bangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi, Sembiran dan Terunyan Bali. Di sekitar daerah Madiun Jawa Timur ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.
Selain tradisi batu inti, ada juga tradisi batu serpih atau flakes yang meliputi gurdi untuk membuat lubang, pisau untuk memotong, dan tombak untuk menombak. Flakes terbuat dari batu biasa dan ada
juga yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Alat budaya serpih bilah berupa penggaruk, serut, gurdi, penusuk, maupun pisau ditemukan di Punung Pacitan, Sangiran, Gombong, Lahat, Cabbenge, Maumere, Mengeruda, dan Atambua (NTT). Alat yang bernama flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Fungsinya seperti pisau pada masa sekarang.
2. Alat Kebudayaan Ngandong
Alat budaya Ngandong dibuat dari tanduk, tulang, dan duri ikan. Alat budaya ini terdiri atas sudip, mata tombak, dan belati/penusuk. Alat-alat ini ditemukan di Ngandong, Blora (Jawa Tengah).
C. Corak Kehidupan Masyarakat
Tahap berburu dan meramu tingkat awal berlangsung sejak 2 juta sampai 10.000 tahun yang lalu. Tahap ini berlangsung pada zaman pleistosen. Manusia yang hidup pada zaman itu adalah Homo erectus dan Homo sapiens. Untuk mendapatkan makanan, pada masa itu manusia purba hanya tinggal mengambilnya dari alam. Caranya dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, biasanya mereka memilih kawasan yang berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil di sekitarnya atau dekat dengan sumber air, sungai, danau, dan rawa. Pada tahap berburu dan meramu tingkat awal ini, Homo erectus dan Homo wajakensis biasanya tinggal di dalam gua-gua. Mereka biasa berburu gajah purba, banteng purba, dan binatangbinatang hutan lainnya. Gua adalah tempat yang relatif aman dan sudah dalam kondisi siap pakai. Gua-gua itu biasanya mereka gunakan sebagai tempat istirahat sementara saat harus mencari makan dan berpindah tempat. Artinya, mereka hidup secara setengah menetap dan setengah mengembara. Gua yang dipilih adalah gua alam atau cave dan gua payung bukit karang atau rock/abris sous roche. Letak gua biasanya dekat sebuah sumber air dan makanan.
Kehidupan manusia purba dalam gua-gua itu biasanya membentuk kelompok kecil terdiri atas 20–30 orang. Pembentukan kelompok kecil ini mempunyai beberapa keunggulan, terutama untuk menghadapi serangan musuh bersama, melaksanakan kegiatan berburu dan meramu, menghadapi datangnya serangan binatang liar, serta mempermudah pengembaraan. Dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, manusia prasejarah telah mengenal pembagian tugas atau kerja. Misalnya saat berburu binatang dibutuhkan beberapa laki-laki yang mempunyai ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Pekerjaan ini tidak sesuai dengan karakter wanita. Mereka mungkin bisa membantu saat harus meramu atau menguliti binatang buruan. Selain itu, wanita bertugas menjaga gua dan merawat anak.
Setelah zaman paleolitikum ini muncul zaman mesolitikum, semoga bermanfaat :)
A. Manusia Purba Zaman Paleolitikum
Temuan arkeologis pada zaman Paleolitikum didukung oleh temuan manusia purba sebagai berikut.
1. Meganthropus Palaeojavanicus, manusia purba ini dianggap sebagai manusia tertua yang hidup di Jawa kira-kira 2-1 juta tahun yang lalu. Rahangnya mirip kera diperkirakan terus berevolusi. Fosil manusia yang memiliki rahang besar ini ditemukan pada 1941 di Desa Sangiran, lembah Sungai Bengawan Solo oleh Von Koenigswald.
2. Pithecanthropus Robustus dan Pithecanthropus Mojokertensis ditemukan 1936 di lembah Kali Berantas oleh Von Koenigswald.
3. Pithecanthropus Erectus ditemukan 1890 di Desa Trinil, lembah Bengawan Solo oleh E. Dubois.
4. Homo Soloensis dan Homo Wajakensis ditemukan antara 1931-1934 di Solo dan Wajak.
Dibawah ini adalah gambar dari tengkorak homo soloensis:
B. Kebudayaan Pacitan dan Ngandong / Peralatan Hidup Manusia Purba
Untuk mendukung kehidupannya, manusia purba menggunakan dan membuat beragam peralatan yang terbuat dari bahan batu, kayu, tanduk, dan tulang ikan. Artefak dan fosilnya sebagian besar
masih bisa ditemukan kecuali peralatan yang terbuat dari kayu. Hasil kebudayaannya banyak ditemukan di daerah Pacitan dan Ngandong Jawa Timur. Para arkeolog sepakat untuk membedakan
temuan benda-benda prasejarah di kedua tempat tersebut, yaitu sebagai kebudayaan Pacitan dan kebudayaan Ngandong.
Teknik pembuatan alat masih sederhana sehingga menghasilkan alat-alat yang kasar karena tidak dihaluskan. Jenis-jenis alat zaman berburu dan meramu tingkat awal sebagai berikut.
1. Alat Keudayaan Pacitan
Alat budaya Pacitan yang berasal dari batu ada dua, yaitu tradisi batu inti yang terdiri atas kapak perimbas (chopper) dan kapak genggam (hand adze). Kapak perimbas digunakan untuk merimbas kayu, pemecah tulang, dan sebagai senjata. Kapak genggam digunakan untuk menggali, memotong, dan menguliti. Alat-alat ini ditemukan di Punung, Pacitan (Jawa Timur) dan di beberapa tempat lain.
Alat-alat budaya Pacitan juga ditemukan di Jampang Kulon (Sukabumi, Jawa Barat); Gombong (Kebumen, Jawa Tengah); Ngadirojo dan Sambungmacan (Sragen, Jawa Tengah), Tanjungkarang (Lampung); Awang Bangkal (Kalimantan Selatan); Cabbenge (Sulawesi Tenggara), Sembiran dan Trunyan (Bali); Batutring (Sumbawa), Wangka, Mengeruda, Alabula, Maumere (Flores); serta Atambua, dan Kefamenanu (Timor).
Gambar di atas merupakan peninggalan zaman Palaeolithikum yang ditemukan oleh Von Koenigswald pada 1935 di Pacitan yang diberi nama kapak genggam. Alat tersebut serupa dengan kapak, tetapi tidak bertangkai, cara mempergunakannya dengan cara mengenggam. Kapak genggam terkenal juga dengan sebutan kapak perimbas, atau dalam ilmu prasejarah disebut dengan chopper yang artinya alat penetak. Pembuatan kapak genggam dilakukan dengan cara memangkas salah satu sisi batu sampai menajam dan sisi lainnya dibiarkan apa adanya sebagai tempat menggenggam. Daerah penemuan kapak perimbas atau kapak genggam selain di Pacitan Jawa Timur juga ditemukan di daerah-daerah lain, seperti Jampang Kulon, Parigi Jawa Timur, Tambang Sawah, Lahat, dan Kalianda Sumatra, Awang Bangkal Kalimantan, Cabenge Sulawesi, Sembiran dan Terunyan Bali. Di sekitar daerah Madiun Jawa Timur ditemukan kapak genggam dan alat-alat dari tulang dan tanduk. Alat-alat dari tulang tersebut bentuknya ada yang seperti belati dan ujung tombak yang bergerigi pada sisinya. Adapun fungsi dari alat-alat tersebut adalah untuk mengorek ubi dan keladi dari dalam tanah, serta menangkap ikan.
Selain tradisi batu inti, ada juga tradisi batu serpih atau flakes yang meliputi gurdi untuk membuat lubang, pisau untuk memotong, dan tombak untuk menombak. Flakes terbuat dari batu biasa dan ada
juga yang dibuat dari batu-batu indah berwarna seperti calsedon. Alat budaya serpih bilah berupa penggaruk, serut, gurdi, penusuk, maupun pisau ditemukan di Punung Pacitan, Sangiran, Gombong, Lahat, Cabbenge, Maumere, Mengeruda, dan Atambua (NTT). Alat yang bernama flakes mempunyai fungsi sebagai alat untuk menguliti hewan buruannya, mengiris daging atau memotong umbi-umbian. Fungsinya seperti pisau pada masa sekarang.
2. Alat Kebudayaan Ngandong
Alat budaya Ngandong dibuat dari tanduk, tulang, dan duri ikan. Alat budaya ini terdiri atas sudip, mata tombak, dan belati/penusuk. Alat-alat ini ditemukan di Ngandong, Blora (Jawa Tengah).
C. Corak Kehidupan Masyarakat
Tahap berburu dan meramu tingkat awal berlangsung sejak 2 juta sampai 10.000 tahun yang lalu. Tahap ini berlangsung pada zaman pleistosen. Manusia yang hidup pada zaman itu adalah Homo erectus dan Homo sapiens. Untuk mendapatkan makanan, pada masa itu manusia purba hanya tinggal mengambilnya dari alam. Caranya dengan berburu dan mengumpulkan bahan makanan dari tumbuh-tumbuhan. Oleh karena itu, biasanya mereka memilih kawasan yang berupa padang rumput dengan semak belukar dan hutan kecil di sekitarnya atau dekat dengan sumber air, sungai, danau, dan rawa. Pada tahap berburu dan meramu tingkat awal ini, Homo erectus dan Homo wajakensis biasanya tinggal di dalam gua-gua. Mereka biasa berburu gajah purba, banteng purba, dan binatangbinatang hutan lainnya. Gua adalah tempat yang relatif aman dan sudah dalam kondisi siap pakai. Gua-gua itu biasanya mereka gunakan sebagai tempat istirahat sementara saat harus mencari makan dan berpindah tempat. Artinya, mereka hidup secara setengah menetap dan setengah mengembara. Gua yang dipilih adalah gua alam atau cave dan gua payung bukit karang atau rock/abris sous roche. Letak gua biasanya dekat sebuah sumber air dan makanan.
Kehidupan manusia purba dalam gua-gua itu biasanya membentuk kelompok kecil terdiri atas 20–30 orang. Pembentukan kelompok kecil ini mempunyai beberapa keunggulan, terutama untuk menghadapi serangan musuh bersama, melaksanakan kegiatan berburu dan meramu, menghadapi datangnya serangan binatang liar, serta mempermudah pengembaraan. Dengan membentuk kelompok-kelompok kecil, manusia prasejarah telah mengenal pembagian tugas atau kerja. Misalnya saat berburu binatang dibutuhkan beberapa laki-laki yang mempunyai ketangkasan dan kecepatan dalam berlari. Pekerjaan ini tidak sesuai dengan karakter wanita. Mereka mungkin bisa membantu saat harus meramu atau menguliti binatang buruan. Selain itu, wanita bertugas menjaga gua dan merawat anak.
Setelah zaman paleolitikum ini muncul zaman mesolitikum, semoga bermanfaat :)
Post a Comment